We’re good, we’re good enough.

zee ☆
4 min readSep 4, 2022

Kesya’s Point of View

Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Entah kenapa tidurku malam ini nggak begitu nyenyak. Banyak ragu yang muncul secara tiba-tiba. Keraguan yang menuntunku ke kekurangan yang ada pada diriku. Am I good enough?

Sudah lima belas menit lebih aku terduduk di atas kloset, mataku terus-terusan menatap benda kecil yang sekarang ku pegang. Benda kecil yang memperlihatkan dua garis yang menandakan aku sedang membawa nyawa lain dalam diriku. Air mata yang dari tadi aku tahan sekuat tenaga pun berhasil menyeruak keluar dari pertahannya. Am I even ready for all of this?

We’ve already talked about it. Selama aku dan Leo mempersiapkan pernikahan, pelan-pelan kita berdua mulai menyusun rencana serius untuk kedepannya, termasuk tentang anak. Bahkan berbagai macam konsultasi pranikah pun sudah kita lakukan, tapi kenapa semua hal itu terasa percuma ketika aku berhadapan langsung dengan kenyataan yang sekarang kupegang?

Rasa bersalah akan kurangnya diriku muncul bertubi-tubi. Aku takut kalau dia merasa tidak nyaman berada di dalam tubuhku. Aku takut kalau aku salah dalam mengambil keputusan, yang berakhir menyakiti dia. Aku takut… kalau aku sebenarnya nggak cukup.

Ini baru masuk bulan ke dua pernikahan ku dengan Leo. Kita berdua memutuskan untuk nggak menunda untuk hal yang berhubungan dengan anak, makanya setiap kita berhubungan, Leo selalu menanyakan ke aku apakah aku siap kalau misalnya hal itu datang. Aku selalu menguatkan hati dan mengatakan kalau aku siap. Well, aku nggak tau kalau sebenarnya aku sedang memaksakan diri.

To be honest, aku senang membayangkan keluarga kecil yang kubuat bersama Leo. Bahkan di rumah yang sekarang kita tinggali, sudah ada kamar khusus untuk anak kita nanti — sudah sejauh ini aku dan Leo berencana. Leo sama sekali nggak pernah memberi tahuku secara terbuka, keinginan memiliki berapa anak, dia selalu menjawab hal itu sesuai dengan kemauanku karena ini badanku dan aku yang merasakan semua rasa sakit yang nantinya akan datang. Aku pun jelas ingin, tapi rasa takutku lebih besar.

Aku menyalakan air keran di wastafel, membasuh wajahku. Selanjutnya aku mengeringkan wajah dengan tissue, memastikan bahwa mataku sama sekali nggak meninggalkan bekas aku habis menangis. Aku berencana untuk memberi tahu Leo hari ini juga, aku nggak mau menahan rasa ini sendirian. Walaupun dia nggak bisa sepenuhnya menenangkanku, tapi aku butuh untuk dia peluk.

Aku mendudukan diriku di sisi kasur sebelah Leo. Tanganku perlahan membuka selimut yang menutupi tubuh Leo, lalu merapikan rambut yang menutupi wajahnya. Di saat yang sama, tangan Leo tiba-tiba meraih jemariku yang sedang menyusuri rambutnya.

Matanya masih terpejam, tapi ibu jarinya dengan lembut mengusap tanganku. “Sudah jam berapa, Kei?”

“Masih jam 7,” jawabku. Aku masih berusaha menenangkan diri. “Leo…”

“Hm?”

“Can we talk?”

Mungkin dia sadar ada yang lain dari suaraku, makanya Leo memaksakan matanya untuk terbuka lebar. Ia masih berusaha untuk mengumpulkan nyawanya. Ketika dia sudah sepenuhnya sadar, Leo duduk berhadapan denganku.

Aku menatapnya dengan tatapan sendu. Jujur, aku jelas senang, tapi tertutupi dengan rasa kalut.. takut.. yang menyelimutiku. Aku mengeluarkan hasil test pack dari kantong celanaku, menunjukkannya ke Leo. “Yo…”

Mata Leo terfokus pada benda yang kupegang, dia terdiam cukup lama. Setelah memproses semuanya, dia kembali menatapku. Dia menangkup wajahku dan mengelusnya pelan. “Sayang, you okay?”

Di antara semua kalimat yang sudah aku bayangkan sebelumnya, nggak ada satupun yang keluar dari mulutnya. Bukan rasa senang yang pertama kali dia ekspresikan, tapi, dia lebih dulu memastikan diriku nggak kenapa-napa dengan hal ini. Aku langsung masuk ke dalam pelukannya dan menangis sejadi-jadinya.

Nggak ada kata-kata yang keluar dari mulut kita berdua sekarang. Leo terus-terusan mengusap punggung dan kepalaku, dan aku yang memeluk erat tubuhnya. Sepuluh menit lebih kita berdua sibuk dengan pikiran kita masing-masing.

“Sayang, it’s okay if you’re not ready yet,” ucapnya menenangkanku. “It’s totally okay.”

“Takut…”

Leo mendorongku pelan yang membuatku terpaksa melonggarkan lingkaran tanganku yang ada di pinggangnya. Kedua tangan Leo terulur untuk menangkup wajahku, perlahan mengusap air mata yang jatuh ke pipiku.

“Am I good enough?” daripada ke Leo, aku lebih menanyakan hal ini ke diriku sendiri. Apakah suatu saat nanti mereka bisa bangga karena memiliki aku sebagai wanita yang melahirkannya? Entahlah, rasanya sekarang semua hal dari dalam diriku patut dipertanyakan.

Tangan Leo masih menangkup wajahku, masih mengusap air mataku yang sama sekali nggak mau berhenti untuk keluar. Matanya sama sekali nggak berpindah, ia menatapku lembut — walaupun aku bisa melihat tatapan sedih dari matanya.

Ia mencium keningku, cukup lama. “You’re good enough.”

Selanjutnya ia mencium ujung hidungku. “You don’t have to worry about anything. Ada aku, Kei. Aku nggak pernah lepasin kamu dalam keadaan apapun, I promise.”

Terakhir, bibirku. He kissed me gently. Aku tidak menutup mataku sama sekali dan aku bisa melihat air mata yang perlahan jatuh dari matanya — akhirnya aku menutup mataku karena aku nggak mau melihat ia menangis, how selfish I am. Ketika dia menarik wajahnya, memisahkan tautan kita berdua, dia berusaha menghapus air mata yang jatuh di pipinya secepat yang dia bisa, agar aku nggak melihatnya. “Sayang, we’re good. Nggak semua hal bisa kita terima sekarang, tapi ada yang namanya proses dan belajar. Mungkin sekarang kamu mulai mempertanyakan hal-hal yang ada di diri kamu. Kita berdua sama-sama anak dari Mama sama Bunda, kita berdua juga tau, they’re more than enough. So do you, you’re more than enough.”

Leo mencium keningku sekali lagi. “We’re good enough.”

--

--