We don’t learn about each other, or at least I try not to

zee ☆
6 min readNov 14, 2022

--

Arunaya’s Point of View

Di saat aku memikirkan berpuluh-puluh alasan kenapa mata ini enggan untuk beristirahat, dan di saat itu juga beribu-ribu masalah hidupku muncul begitu saja, menyadarkan apa yang sebenarnya sudah aku lalui. Aku tau masalahnya ada di diri aku sendiri, tapi entah kenapa aku terus-terusan mencari hal lain untuk menjadi pelampiasan emosiku, selalu menyalahkan hal-hal yang pernah terjadi ke diriku dulu. I’ve already come this far, but still getting hard to breathe.

“Nay,” panggil Kak Elzio menghentikan lamunanku. Dia datang dengan satu kantong plastik besar yang berisikan cemilan yang aku minta di tangan kanannya dan gitar di tangan kirinya. Entah sejak kapan aku mulai terbiasa dengan kehadiran dia di setiap aku sendiri dan perlahan mulai muncul rasa syukur atas kehadirannya. “Nih,” ucapnya sambil mengulurkan satu hoodie berwarna biru gelap yang entah muncul dari mana.

Tanganku sama sekali nggak ada niat untuk mengambil benda itu, aku hanya menatapnya bingung. Isi kepalaku sudah terlalu penuh untuk memikirkan apa yang seharusnya aku pikirkan dan lakukan sekarang.

“Dingin,” jawabnya singkat, tapi cukup menjawab. Kak Elzio meletakkan hoodie itu di sampingku karena aku nggak bergerak untuk mengambilnya sama sekali.

Bajuku nggak setipis itu, tapi juga nggak setebal itu. Aku merasakan dingin, tapi hal ini masih bisa ditahan. “Nggak sedingin itu sih, but thank you.

“Tumben nggak bawa buku?” tanya Kak Elzio. Mungkin ini pertama kalinya dia melihatku tanpa laptop ataupun buku ketika aku sendiri.

“Nggak ada kepikiran buat bawa,” jawabku seadanya.

Kak Elzio hanya bergumam sambil mengangguk dan setelahnya hening. Nggak ada satupun di antara kita berdua yang mempunyai keinginan untuk memecahkan keheningan yang ada, hanya suara petikan gitar yang masuk dengan lembut di indera pendengaranku.

Satu lagu. Dua lagu. Mataku fokus melihat jemari Kak Elzio yang begitu lihai memetik senar gitar. Kali ini dia memainkan lagu yang aku kenal, karena biasanya aku selalu mendengar nada nggak beraturan yang sama sekali nggak kukenali ketika dia sedang sibuk bersama dengan gitarnya.

Kecanggungan yang awalnya begitu kuat perlahan hilang. Mungkin benar kalau aku mulai terbiasa dengan hening yang sering mengisi kita berdua. Isi kepalaku yang tadinya penuh sekarang mulai tenang — tapi tempat lain mulai terasa berisik, rasa asing yang sebenarnya nggak ingin aku rasakan dan enggan untuk aku kenali.

Jemarinya seketika berhenti, membuatku terpaksa mengalihkan pandanganku dari gitar yang dia pegang ke wajahnya dengan pandangan bertanya-tanya. “Kenapa berhenti?”

“Pengen aja,” jawabnya sambil meletakkan gitar itu di sampingnya. Selanjutnya ia beranjak berdiri dari tempat duduknya. “Mau ikut atau nggak?”

“Ke mana?”

“Danau, tapi agak lumayan sih jalan ke belakang.”

Tanpa berpikir panjang, aku ikut berdiri. Aku nggak punya alasan untuk menolak ajakan itu sebenarnya — bahkan berpikir alasan untuk bisa menolak pun nggak ada. “Yuk.”

Gelap. Tapi ini aku cukup menikmati kegelapan ini karena aku merasa cukup aman. Sepuluh menit perjalanan dari villa tempat kita menginap ke danau yang sekarang ada di depan kita berdua sama sekali nggak terasa selama itu. Ditemani dengan suara yang nggak sama sekali berhenti keluar dari bibir kita berdua dengan berbagai macam obrolan — hening pun enggan untuk memberhentikan kita.

“Kata Acil begitu?” tanyanya setelah aku menceritakan bagaimana Kak Zayyan memutuskan untuk menjadikan Kak Elzio host di TWP. Telinganya sibuk mendengarkan, mulutnya sibuk berbicara dan tangannya juga sibuk membersihkan beberapa batang pohon yang jatuh menutupi beberapa helai rumput. Aku memperhatikan setiap pergerakannya sampai akhirnya dia melepaskan sendalnya — yang tadinya aku pikir buat alas dia duduk, tapi ternyata dia nggak duduk di atas sendal itu. “Basah, Nay. Duduk di situ aja.”

Tapi ternyata untuk menjadi alas dudukku. “Kamu?”

“Santai. Celana gue gelap,” jawabnya santai, seperti itu adalah suatu hal yang memang biasa dia lakukan ke siapapun.

Aku hanya mengangguk lalu duduk di atas sendalnya. Aneh. I don’t even know how to describe the weird comfort feeling inside me, tapi aku berasumsi ini terjadi karena ini pertama kalinya aku benar-benar diperlakukan seperti ini.

“Lanjut, Nay,” ucapnya menghentikan pikiran anehku. “Acil maksa harus gue?”

“Iya!” Aku lanjut menjawab obrolan tadi dengan antusias. “Bahkan waktu itu tuh Kak Sabil sempat ngeraguin Kak Acil waktu itu, tapi sekarang kamu sudah setahun bareng kita.”

“Gue emang udah agak lama kenal sama Acil, sih — lewat Bagas, tapi agak nggak expect aja dia bisa nilai gue begitu.”

“Mungkin karena Kak Acil kenal kamu, jadi bisa ngeliat the potential that you have. Beda sama yang lain, yang cuma ngeliat dan dengar tentang kamu. Probably.”

I know that first impression doesn’t matter, tapi terkadang itu yang sebenanrnya paling melekat di diri kita tanpa kita sadari. Dan, stereotip yang melekat di Kak Elzio adalah betapa pendiamnya dia, tapi, setelah kurang lebih satu tahun kenal, dia jauh dari kata pendiam — bahkan aku meragukan kredibilitas orang yang berkata seperti itu, dia dari hari pertama nggak ada sisi pendiamnya sama sekali.

“First impression lo ke gue gimana, Nay?” tanyanya. Ia memusatkan perhatiannya ke aku, menanti jawaban yang keluar dari bibirku.

I don’t really think about you back then. Bahkan kayaknya nggak sempat mikir kesan pertama yang gimana-gimana soalnya langsung recording, jadi apa yang aku kenal pertama kali tentang kamu, ya, sama kayak kamu yang sekarang ada di sini.”

“Sekarang gimana?” tanyanya lagi, lebih serius dari pertanyaan sebelumnya.

Aku terdiam beberapa saat. Biasanya aku langsung bisa menjawab pertanyaan itu tanpa berpikir panjang, tapi entah kenapa kali ini aku harus berpikir lebih dari dua kali sebelum aku membuka suara.

He’s such a comforting person. Dia memang nggak memberikan kenyamanan dengan kata-katanya, tapi dengan perilakunya. Kak Elzio bisa membuat orang lain nyaman membuka suara di hadapan dia tanpa merasa terintimidasi. Telinganya terbuka lebar untuk mendengar dan bibirnya tanpa henti bercuap untuk menghibur. Di antara semua hal tentang Kak Elzio, itu yang pertama kali aku pikirkan — aku menyalahkan suasana sekarang untuk pikiran ini.

“Ngeselin.” Alih-alih berbagai macam pujian yang terlintas di pikiranku, hanya satu kata itu yang keluar dari bibirku. Aku mengurungkan niatku untuk memuji laki-laki yang sekarang sedang terkekeh di sampingku.

“Kalo gue orangnya ngeselin, kayaknya lo udah gue tinggal di villa sendirian deh tadi, Nay,” ucapnya sambil terkekeh. “Lo nggak penasaran apa yang gue pikirin tentang lo?”

Aku diam. Jujur, aku selalu penasaran apa yang orang lain pikirkan tentang aku, tapi aku selalu menahan keingintahuanku — aku nggak mau terlalu mematokkan diri atas apa yang mereka pikirkan.

“Gue dulu selalu mempertanyakan kenapa lo bisa bikin banyak orang ngelilingin lo — ibaratnya, lo selalu menjadi pusat apapun. Lo selalu menjadi orang pertama yang dicari sama siapapun, pokoknya kalau lo nggak ada tuh studio berasa kurang. Tapi gue sekarang paham itu kenapa.”

Aku masih diam mendengarkan.

“Lo bisa ngebuat orang lain merasa ‘ada’ di tengah-tengah ramai. Lo juga bisa membuat orang merasa penuh di tengah-tengah kekosongan, kayak gue,” lanjutnya. “You ain’t even trying, tapi malah karena itu…”

“Malah karena itu, apa?”

“Gue bisa banyak cerita ke lo. Lo nggak penasaran gue kenapa, tapi lo juga nggak meninggalkan gue. Gue biasanya nggak segampang ini buat ngobrol sebanyak sekarang — bahkan kayaknya sekarang gue yang mendominasi obrolan kita. Entah sejak kapan gue memutuskan untuk menutup diri dari siapapun, sampai akhirnya gue menutup diri ke diri sendiri. Tapi semenjak gue cerita ke lo, pelan-pelan gue ngebuka diri lagi. Gue yang merasa kosong, pelan-pelan keisi lagi. Lo nggak ngecoba buat gue dan yang lain bisa merasa begitu, tapi kehadiran lo bisa bikin orang lain begitu, Nay,” jelasnya.

It’s because we try to not learn about each other. Dia nggak punya ekspektasi aku akan paham dengan cerita dia, karena dia cuma mau didengar. Dan aku nggak harus memaksakan diri untuk berempati dan berada di pihak dia.

Kadang aku secara nggak sadar sudah menyusun potongan-potongan puzzle cerita Kak Elzio dan menyatukan menjadi cerita yang padu, tapi aku nggak mau dia untuk tau itu. Once he knows that I know about him — that I started to learn about him, dia akan menarik dirinya lagi dari semua orang. Dia akan merasa kosong lagi.

“Kamu orang pertama yang ngomong begitu ke aku,” ucapku. Aku nggak mau membahas hal itu terlalu dalam. But, deeply, I kinda appreciate it.

“Gue cuma ngomongin apa yang gue rasain sih.”

Aku mengangguk pelan. Nggak ada kepikiran untuk membalikkan afirmasi yang sama karena aku nggak terbiasa dengan hal itu. But, again, I appreciate him by saying those words. And I appreciate him… for giving me another reason to live.

By the way, kamu sama kayak Ersya, ya,” ucapku tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan kita sebelumnya.

“Sama gimana?”

“Sama-sama banyak cerita,” jawabku. “Kalian berdua nggak pernah ragu untuk ngomong sesuatu apa yang ada di pikiran kalian.”

Thanks to you, then. Gue juga udah lama, nggak ketemu sisi gue yang begini. Tapi, gara-gara ceritanya sama lo kayaknya gue bisa ngomong sepanjang ini.”

Aku sedikit menaruh harapan pada diriku, untuk nggak terlalu nyaman dengan sekarang. Tapi di sisi lain, aku juga enggan untuk menjauh.

--

--

No responses yet