- cw & tw: mention of kissing & family issues.
Semua orang butuh waktunya sendiri untuk menenangkan pikiran, begitu juga dengan Agian yang berkeliling Batu sampai menemukan tempat ini saat ia tidak pulang kemarin. Tempat yang sepi, tetapi dengan pemandangan yang menenangkan.
Sepi. Tenang. Tidak ada orang lain di sekitar mereka berdua, bahkan suara mobil lalu-lalang saja hampir tidak terdengar ketika mereka sampai.
Alea menolehkan kepalanya ke belakang mobil. “Mau buka bagasi belakang nggak? Duduk di belakang aja daripada di dalam mobil doang.”
“Mau?”
Alea menganggukkan kepalanya antusias.
Agian memutar parkirnya yang semula parkir maju ke parkir mundur agar bagasi belakang dapat menghadap pemandangan Kota Malang di bawah sana. Pemandangan yang kurang lebih sama seperti di Paralayang, namun saat ini hanya dinikmati oleh mereka berdua.
Alea sudah berada di luar mobil, sedangkan Agian masih sibuk mencari sesuatu di kursi belakang. Setelah itu ia keluar dengan membawa jaket di tangan kiri dan di tangan kanannya menenteng kantong plastik berisi banyak makanan ringan yang sudah ia siapkan sebelumnya.
“Kapan belinya?” tanya Alea melihat kantong plastik warna putih tersebut.
“Sebelum jemput kamu, tadi mampir bentar,” ucap Agian sambil membuka pintu bagasi di belakang, membiarkannya terbuka agar dirinya dan Alea bisa duduk.
Alea duduk terlebih dahulu lalu Agian menyusul duduk di sebelahnya. Ia meletakkan kantong plastik yang berisi makanan ringan di belakang mereka, lalu meletakkan jaket yang tadi ia ambil di atas paha Alea.
Mereka berdua sama-sama diam memandangi lampu-lampu kota beserta bintang yang hampir tak pernah mereka lihat di Jakarta tapi mereka dapat melihatnya di sini hampir setiap malam. It’s feels awkward, but somehow they’re enjoying this moment in silent.
“Gi.”
“Le.”
Mereka berdua menoleh bersamaan ketika mereka saling memanggil nama satu sama lain di waktu yang sama lalu tertawa. “Duluan, Le.”
“Ada beli pororo nggak?” Maksudnya minuman pororo yang selalu Alea pilih ketika ia membeli minuman di mini market.
Agian langsung mengambil minuman yang di sebut Alea. Ia mengeluarkan dua, satu yang berwarna biru dan satunya lagi berwarna ungu. Agian memberikan yang warna ungu untuk Alea. “Nih, Bayi.”
“Satunya buat siapa?” tanya Alea, menunjuk yang warna biru.
“Aku.”
“Ck, bayi teriak bayi.” Alea menyipitkan matanya ke Agian, berdecak kesal. “Sekarang gantian, kamu lagi.”
Agian langsung berdiri dari duduknya untuk ke pintu tengah mengambil sesuatu. Dikeluarkannya tas gitar yang sama sekali tidak disadari oleh Alea. Ia membuka tas tersebut untuk mengeluarkan gitar akustik berwarna hitam lalu memberikan gitar tersebut ke Alea. “Main dong, Le.”
“Ihhh, nggak ah,” tolak Alea tetapi tetap mengambil gitar tersebut dari tangan Agian. “Aku masih malu main di depan orang.”
“Kan cuma aku yang liat?”
Alea menaikkan sebelah alisnya lalu pandangannya pindah ke kuku-kuku yang ada di jarinya.
“Kamu bisa nekan chord kalau kukunya panjang gitu?” tanya Agian ketika melihat Alea memperhatikan kukunya.
“Nih, patah.” Alea menunjukkan kuku jari tengah di tangan kiri dan telunjuk di tangan kanan yang patah beberapa hari lalu.
Yang tadinya ia berdiri berhadapan dengan Alea, kini ia duduk kembali di sebelah Alea dan langsung mengambil alih setengah dari gitar tersebut, membiarkan bagian badan gitar tetap berada di pangkuan Alea. “Yaudah setengah-setengah. Kamu yang metik, aku yang nekan chord.”
Jari-jari Alea perlahan memetik senar gitar dengan teknik yang baru-baru saja ia pelajari. “Aku kemaren abis belajar fingering tau, Gi.”
“Diajarin siapa?”
“Temen aku di kos, dia jago.”
“Lebih jago aku pasti.”
“Iyasih…”
“Besok-besok aku aja yang ngajarin.”
Alea menyipitkan matanya sinis ke arah Agian. “Kenapa sih begitu aja cemburu?”
“Nggak cemburu tuh,” bantah Agian sambil menaikkan kedua bahunya. Ia mengambil alih seluruh gitar lalu memainkannya. Jarinya dengan lihai membawakan lagu yang bisa ia mainkan dengan andal, sudah beratus-ratus kali Agian membawakan lagu ini sejak ia SMA.
Feeling like I’m breathing my last breath
Feeling like I’m walking my last steps
Look at all of these tears I’ve wept
Look at all the promises that I’ve kept
Agian bernyanyi pelan dengan suaranya yang cukup berat. Alea cukup sering memuji suara Agian dalam diam. Suaranya berat, tapi lembut. Ia jarang mendengar Agian berteriak, kecuali ketika Agian bercanda dengan teman-temannya. Lelaki itu sama sekali tidak pernah meninggikan nadanya ketika bersama Alea.
23.58
I put my all into your hands
Here’s my soul to keep
I let you in with all that I can
You’re not hard to reach
Mata Alea fokus melihat raut wajah Agian yang begitu fokus melihat gitarnya, sesekali melihat handphonenya memastikan jam.
And you bless me with the best gift
That I’ve ever known
You give me purpose
Yeah, you’ve given me purpose
Agian terhenti sejenak melihat Alea yang begitu fokus melihat layar handphonenya yang terkunci.
23.59
“Le?”
00.00
Alea memajukan wajahnya, menghapus jarak di antara mereka dengan ciuman singkat. It was just a peck, but it was lovely. Alea memundurkan wajahnya lalu tersenyum lebar menatap Agian dengan tatapan yang begitu lembut. “happy birthday, Agian Pradipta.”
Their first kiss ever, on his birthday.
Alis Agian terangkat sebelah, ia belum menyadari hari yang sudah berganti ke tanggal yang sama dengan tanggal ia lahir ke dunia. Bibir lelaki itu perlahan terangkat melihat Alea dengan jarak sedekat ini. Setelah delapan belas tahun, akhirnya di tahun ke sembilan belas ia bisa memulai hari ini dengan senyuman. Because of her. Because of her smile.
Agian mencubit ujung hidung Alea gemas. “Kamu tiap hari senyum aja dong, aku seneng liatnya.”
“Emangnya aku nggak senyum tiap hari?”
“Kamu emang harus aku beliin cermin ya, Sayang?”
01.34
Tujuh lagu sudah Agian mainkan dengan gitarnya. Cerita ringan mengenai hari-hari mereka di kampus. Menghabiskan cemilan yang tadi di beli. Sampai membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan pun sudah mereka lalui selama satu jam lebih, tidak memperdulikan dengan suhu yang semakin rendah.
Alea sudah menggunakan jaket yang tadi diberikan oleh Agian sebelumnya. Kini Alea bersandar di bagian belakang kursi tengah, sedangkan Agian menyandarkan kepalanya di atas paha Alea. Matanya terpejam, tetapi tidak tidur. Tangan kanan Alea mengusap pucuk kepala Agian pelan, sedangkan tangan kirinya digenggam erat oleh Agian.
Agian hanya menggunakan kaos, jaketnya sudah ia letakkan di atas paha Alea sebelumnya. Alea terus menatap suatu hal yang mengganjal di balik kaos Agian, terlihat seperti bekas luka jahitan di bahunya. Tangan Alea yang tadinya digenggam Agian secara tidak sadar menjulur ke luka tersebut. Agian yang sadar kemana tangan Alea menuju langsung mengambil tangan Alea sebelum gadis itu menyentuh bekas lukanya, menggenggam tangannya erat.
“Sorry,” ucap Alea, ia sedikit terperanjat.
“It’s okay, aku tadi cuma kaget.” Agian mengusap tangan Alea dengan ibu jarinya lembut.
Alea hanya diam menatap tangannya yang digenggam Agian. Pesan dari Audrey kemarin siang membuat ia berpikir kemana-mana, ditambah dengan raut wajah Agian saat ini. Tidak bisa dideskripsikan, ia menunjukkan wajah senang dan sedih di waktu yang sama.
“Itu luka bekas jahitan, Le.”
“Aku nggak nanya,” Alea langsung menyanggah.
“Bohong,” ucap Agian pelan dengan nada sedikit bercanda. “Muka kamu nggak bisa bohong kalau penasaran.”
“Ya… tapi aku sudah menahan sekuat tenaga buat nggak penasaran.”
Agian terkekeh pelan. “Mau nanya apa lagi?” Perlahan Agian terbuka. Terbuka dengan cerita pilu mengenai keluarganya sudah menjadi rutinitas di hidup Agian.
“Dijahit kenapa?” tanya Alea hati-hati.
Agian menarik sedikit baju di bagian leher, memperlihatkan lukanya. Alea mengernyitkan alis seperti turut merasakan sakit. “Luka. Dipukul Papa.”
Mulut Alea terbuka kaget, ia langsung menutup kembali mulutnya ketika sadar ekspresinya terlalu berlebihan. “Sorry,”
“Kenapa minta maaf mulu sih, Aleaaaa.” Agian mencubit pipi Alea gemas, agar Alea tidak terlalu merasa bersalah karena sudah membahas hal yang cukup sensitif baginya. “Aku nggak kenapa-kenapa kok.”
Alea tidak mengindahkan ucapan Agian barusan. Matanya terus-terusan menatap luka yang tertutupi kain tersebut. Ia menarik tangan yang tadi digenggam Agian berpindah ke luka yang ada di balik baju Agian. “It must hurt a lot, kok tega…”
Agian kembali menggenggam tangan Alea, masih di atas lukanya. “Ya… tega aja sih. Since I’m not his biological son.”
Terlalu banyak fakta yang Agian ucapkan malam ini, fakta yang tidak sepantasnya ia ucapkan di hari seharusnya dia bahagia.
“Aku nggak bisa pulang ke rumah kalau Papa pulang. Tapi bulan lalu aku pulang ke rumah pas dia juga pulang, di situ aku baru tau kalau aku bukan anak dia. Makanya aku nggak bisa ketemu kamu besoknya, I don’t want you to see me in ‘that’ miserable moment of my life.”
Alea yang sudah melupakan hal itu langsung teringat kembali. Sekarang ia mengetahui alasan Agian menutupi seluruh badannya di hari mereka kembali ke Malang. Lelaki itu jarang menggunakan jaket yang menutupi seluruh kulitnya, ia sering menggulung lengan jaketnya hingga siku. Tetapi hari itu, ia sama sekali tidak melakukan hal tersebut untuk menutupi beberapa lebam yang ada di tubuhnya. “Sorry, Gi.”
Lagi, kesekian kalinya.
“Kamu kalau ngomong maaf sekali lagi, aku cium.”
“Apasih ngancemnya begitu!” Alea memalingkan wajahnya kesal.
Agian tertawa, tidak terbayang ia akan menceritakan hal ini dengan tawa. Biasanya ia selalu menghindari untuk menceritakan kisah pilu di hidupnya kepada siapapun, bahkan ke Jean dan Noel. Mereka hanya menyaksikan badan Agian yang sering lebam ketika mereka di SMA dulu. Ini pertama kalinya ia berbicara banyak mengenai hal tersebut.
“Kak Audrey kemaren DM aku, buat nemenin kamu. It must be hard, for both of you.” Tangan yang tadi berada di bahu Agian berpindah mengelus pipi Agian lembut.
“Buat Audrey… iya. Karena secara biologis, Papa itu Papa aslinya Audrey. Kalau ke aku efeknya di fisik, kalau ke Audrey…” ucapan Agian terpotong, ia menghela napasnya sejenak sebelum melanjutkan apa yang ingin ia ucapkan. “Thats why I would never projecting my anger or my feelings to Audrey or someone else, sebenarnya yang paling sedih itu dia sama Mama. Satu-satunya cara mereka ngelindungin aku itu ya dengan nggak ngebolehin aku pulang, sedangkan mereka nggak bisa ke mana-mana.”
“Are you… even trying to fix it?”
Agian menggelengkan kepalanya. “Nggak semua hal bisa diperbaiki, Le. Ada kalanya yang rusak itu lebih baik dibuang daripada diperbaiki. Handphone kalau sekali rusak terus diservice, kemungkinan untuk rusak lagi itu lebih besar daripada bertahan lama dengan kondisi yang baik. Ngerubah sifat manusia itu nggak gampang dan nggak semua orang bisa, I’m being a coward, but… that’s the only option for us. Dipikiran aku sekarang cuma, gimana caranya Mama sama Audrey bisa keluar dari sana, tapi ya… aku cuma bisa nunggu keputusan Mama maunya gimana.”
“Is she loves him?”
“She used to.”
“Kalau kamu?”
“So do I.”
“Mmmm,” Alea bergumam paham. Tidak ada niat untuk melanjutkan percakapan tersebut.
“I love you,” ucap Agian tiba-tiba, ia hanya ingin mengucapkan itu.
Alea hanya tersenyum sambil menyipitkan matanya ke arah Agian yang masih berada di atas pahanya. Perlahan Alea menundukkan kepalanya, menutup jarak di antara mereka. Kedua kalinya untuk hari ini Alea mencium bibir Agian.
He could feel himself blushing over her. He kissed her back and grab her gently by the neck to deepen the kiss. It’s longer and deeper than their first kiss.
Alea menarik wajahnya lalu tersenyum sambil mengusap pipi Agian. “I love you.”
It’s okay when your life is struggling, at least you know that you’re not alone. I’m right here. Right in front of you, ready to hug you whenever your life is falling apart, she said.
As long as I’m with you, I’m okay, he said.