zee ☆
7 min readApr 26, 2022

Prom night.

Leo’s Point of View

Gue masuk ke dalam lift. Nggak ada orang lain di dalamnya, cuma gue sendiri —seperti yang emang gue butuhkan sebelum bertemu dengan satu perempuan tercerewet di hidup gue setelah Bunda. Sebenarnya, gue butuh waktu sendiri untuk menenangkan pikiran, tapi entah kenapa, ketika orang yang mencari gue adalah Kesya, gue nggak akan pernah menolak untuk bertemu.

Menurut gue, Kesya mempunyai suatu ciri khas sendiri ketika menghibur gue. Nggak memaksa, tetapi juga enggak acuh tak acuh. Dia seperti punya magnet tersendiri untuk menarik otak gue agar bisa terbuka dengannya, ya, gue butuh dia. Gue yang keras kepala di depan orang lain, tapi nggak ketika gue di depan Kesya. Terkadang gue egois, tapi Kesya bisa meredamkan keegoisan gue, terutama ketika itu menyangkut orang lain.

Do I love her? Yes. I love her as a friend, I can guarantee that.

But, do I need her? Totally. Completely. Absolutely.

She’s my bestest — kalau ada kata yang bisa melebihi arti ‘bestest’, gue akan menggunakan itu—friend of mine, and I need her. Gue mengakui gue butuh Kesya untuk mengontrol apa yang terjadi di hidup gue, sepertinya jika dari awal nggak ada Kesya, entah berapa orang yang sudah menjadi korban keegoisan gue. She’s controling my ego.

If I lose her? I couldn’t even imagine it and I don’t want it. At least for now.

Mungkin suatu saat nanti Kesya bisa pergi terlebih dahulu ketika ia menemukan seseorang untuk menjalani hubungan serius, so do I. Tetapi biarkan hal ini berjalan seperti biasanya, untuk saat ini.

Ketika pintu lift terbuka, Gue dapat melihat Kesya sedang menunggu di dekat meja receptionist. Kesya melihat gue yang sedang berjalan ke arahnya, ia dengan antusias melambaikan tangan kiri yang sedang menjenteng heelsnya, gue menatap ke arah kakinya yang nggak menggunakan apapun.

Gue mendatangi Kesya sambil membuka jas yang gue pakai, lalu memberikannya ke Kesya.

“Apa?” tanya Kesya, hanya melihat tangan gue yang memberikan jas kepada dirinya, nggak ada niat untuk mengambilnya sama sekali.

Gue yang malas berdebat lebih jauh pun langsung memakaikan jas punya gue untuk menutupi bahu Kesya yang terbuka. “Apa perlu, gue buka sepatu gue juga?”

“Nggak, thanks.” Kesya langsung memakai high heelsnya. “Kalo ke mobil lo doang, bearable kok.”

“Yaudah, yuk.” Gue mengajak Kesya untuk pergi ke lift, menuju ke parkiran basement. “Mau langsung pulang atau mau ke mana dulu?”

“Gue pake baju begini, mau ke mana coba, Yo?”

“Temenin gue makan dong, Kei.”

Kesya menolehkan wajahnya ke gue, menatap gue dengan heran. “Emangnya tadi lo nggak makan?”

Gue hanya menggelengkan kepala, berharap dia nggak menanyakan lebih lanjut kenapa gue memilih untuk tidak makan dan pergi ke bar yang ada di hotel ini.

“Tapi makan di dalam mobil aja, ya. Gue nggak mau keluar pake baju begini.”

As expected. She knows me.

Gue menganggukkan kepala sebagai jawaban. Di saat yang sama, pintu lift terbuka. Gue selalu mempersilakan Kesya untuk masuk terlebih dahulu dan gue menahan pintu lift agar tidak tertutup di saat Kesya masuk.

Ada orang lain di dalam lift selain kita berdua, dua laki-laki yang terlihat berumur sekitar 30an. Kesya terlihat nggak nyaman ketika dua laki-laki itu menatap dirinya, menatap ke arah yang tidak seharusnya. Gue yang menyadari itu langsung maju untuk menghalangi pandangan kedua orang tersebut ke Kesya sampai mereka keluar dari lift.

“Males banget matanya jelalatan,” Kesya langsung mengomel ketika pintu lift kembali tertutup.

Gue yang tadinya berdiri di depan Kesya, berpindah kembali berdiri di sampingnya. “Makanya kalau pake baju begitu, jangan pulang sendiri.”

“Lah? Kan, sekarang gue nggak pulang sendiri,” protes Kesya.

Sepertinya gue masih malas untuk berbicara terlalu banyak. Jadinya, gue hanya menjawab, “just saying.”

Kesya langsung menatap gue aneh, tapi seperti biasa, ia tidak banyak bertanya. Hal yang gue butuhkan saat ini sebenarnya ada dua, teman dan ketenangan, dan satu-satunya orang yang bisa mejadi teman sekaligus ‘ketenangan’ adalah Kesya. Ketenangan yang gue maksud adalah, dia nggak banyak tanya — nggak ribut juga, tapi nggak ribut yang gue maksud itu bukan diam sama sekali… ini cukup sulit dijelaskan karena cuma Kesya yang bisa.

Pintu lift terbuka. Kesya keluar terlebih dahulu dan gue mengikuti di belakangnya. Ia langsung mengenali di mana letak mobil gue berada, karena gue parkir nggak jauh dari ruangan tempat lift berada.

Sampai di dalam mobil pun kita masih diam. Bukan diam yang canggung, kayaknya di hubungan gue dan Kesya, nggak ada yang namanya canggung sekalipun kita berdua diam seperti saat ini.

Sudah terbiasa, Kesya langsung mengambil alih audio mobil untuk mendengarkan lagu-lagu K-pop yang sering ia dengar. Gue sampai hapal beberapa lagu yang ada di playlist itu saking seringnya. Awalnya gue protes, tapi lama kelamaan gue ikut menikmati walaupun gue sama sekali nggak ngerti apa yang mereka nyanyikan.

“Mau ke mana?” tanya Kesya basa-basi.

“Kebon sirih.” Gue dengan asal menyebutkan salah satu tempat makan yang terlintas di otak gue, karena gue juga nggak tau kemana arah tangan gue mengendalikan setir.

“Duh, gue jadi mikir kan,” Kesya berdecak. “Gue makan lagi atau enggak, ya, Yo?”

Itu lucu dan gue ketawa. Hiburan kecil yang membuat gue sedikit lupa tentang tadi. “Hahaha. Makan aja sih, Kei. Temenin gue.”

Kesya langsung mengeluarkan laser dari matanya, menatap gue tajam. “Lo sinting ya? Gue tadi udah makan banyak banget, sekarang lo memancing gue buat makan lagi?”

“Ya… nggak salah, kan, buat makan lagi? Atau mau bagi dua sama gue?” Sepertinya satu porsi nasi goreng kebon sirih aja nggak cukup buat gue, apalagi dibagi dua dengan Kesya.

“Lo satu porsi aja kurang, apalagi bagi dua sama gue. Gimana sih?” cibirnya.

“Yaudah, pesen dua. Ntar kalau lo nggak abis, kasih ke gue.” Seperti biasanya, gue banyak menghabiskan makanan ‘sisa’ Kesya. Harus gue bold dan italic kata sisa itu, karena memang sering seperti itu. Kesya terlalu ‘nafsu mata’ ketika berhubungan dengan makanan, ia akan memilih banyak makanan tetapi tidak akan sanggup untuk menghabisinya. Makanan-makanan sisa Kesya akan selalu berakhir di perut gue.

“Okaaaaay,” ia menyaut dengan antusias. Gue tersenyum ketika menoleh sekilas ke arah Kesya.

My toxic traits, compare my girlfriend to Kesya. Siapa yang suka dibandingkan? Nggak ada satupun, makanya hal ini gue kubur dalam-dalam di pikiran gue, bahkan Kesya sendiri pun nggak gue ceritakan mengenai ini.

Gue selalu bertanya-tanya ke diri sendiri ketika gue dekat dengan seseorang. Apakah kehadirannya bisa bikin gue bergantung sama dia? Apa dia ntar bisa menjadi teman gue? Dia kira-kira bisa nggak ya menyeimbangkan dirinya dengan gue? Tiga hal yang ketiganya ada di Kesya.

As I said before. I ‘only’ love her as a friend. Gue sudah cukup mengerti, apa yang dimaksud dengan ‘cinta’ dan gue bisa membedakan rasa yang gue rasakan ketika bersama orang yang gue cintai dan ketika bersama Kesya. Keduanya beda, sangat berbeda.

Gue tidak merasakan ‘sparks’ yang gue rasakan ke pacar gue ketika gue bersama Kesya. Gue rasa itu cukup menjelaskan bahwa gue enggak merasakan hal lebih terhadap Kesya, dan gue yakin Kesya juga akan seperti itu.

“Kei,” gue tiba-tiba memanggil Kesya. Ia hanya menolehkan kepalanya, menunggu gue untuk melanjutkan apa yang ingin gue bicarakan. “Gue putus.”

Kesya tidak terkejut, gue pikir dia sudah menduga hal ini akan datang karena gue sering mengeluh tentang hubungan gue dengan Callista akhir-akhir ini.

“Tadi dia ke prom sama Jero,” lanjut gue.

Kali ini Kesya kaget. Mata dan mulutnya terbuka lebar, lalu ia menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya. “Jero, Jero yang itu?!”

“Iya, Jero yang itu,” jawab gue santai. “Tapi, ‘itu’ tuh apa sih?”

“Lo pernah ngitung nggak sih, tiga tahun kita SMA, si Jero mantannya ada berapa?”

“Ngapain gue ngitungin mantannya Jero?”

“Ihhhh! Maksud gue tuh saking banyaknya sampe nggak bisa keitung lagi gitu, loh?”

Gue mengangguk paham. “Ohh, gue tau banyak tapi kayaknya nggak ‘sebanyak’ itu deh, Kei.”

Yang awalnya gue ingin bercerita tentang hubungan gue dan Callista malah tiba-tiba banting setir jadi sesi ghibah. Hal seperti ini sudah biasa terjadi. “Gue tadi mau curhat tau, Kei. Kenapa tiba-tiba jadi gosipin Jero gini.” gue protes.

“Hehe,” kekeh Kesya. “Itu cuma intermezzo. Lanjutin ceritanya, Bro.”

“Ya, tadi gue putusin karena itu. Gue udah di tahap capek berantem sama dia, terus dia nambahin lagi pergi ke promnight sama Jero. Udahlah, emang nggak ada yang bisa diharapin lagi.” Gue yang tadinya ingin ketenangan seketika langsung ingin banyak bercerita dengan Kesya. Apa yang kadang gue simpen rapat-rapat sendiri, bisa pecah dengan sendirinya ketika Kesya sedang bersama gue.

“Hmm,” gumam Kesya. “Kayaknya dia cuma mancing lo doang tau, Yo. Bisa jadi dia cuma mau lo cemburu, biar lo tau rasanya LDR sama dia. Kan yang dia bahas dari kemaren tuh, itu.”

“Gue nggak suka pake cara begitu, Kei. Nggak bisa apa ya, apa yang terjadi sama kita berdua tuh stay di gue sama Callista aja tanpa melibatkan orang lain? Nggak perlu banget tuh pake Jero segala, nggak bakal mempan di gue,” panjang lebar gue menceritakan hal tadi ke Kesya. “Yang ada gue makin malas.”

Kesya menghela napasnya, tanda ia nggak tahu lagi ingin bereaksi seperti apa akan cerita gue. “Iya sih, lo emang begitu.”

Kita berdua sama-sama larut di pikiran masing-masing, sampai tiba di tempat yang kita tuju. Gue memarkirkan mobil di tempat parkir yang tersedia. Setelah gue memindahkan persneling D ke P, gue menoleh ke arah Kesya yang masih menatap depannya dengan tatapan kosong.

Kenapa hal yang gue cari di seorang perempuan itu semuanya ada di lo ya, Kei? Maybe, if we were a stranger I can hardly be in love with you, as a woman. But, sadly, I can’t feel the sparks that I need when I’m with you, now.

No responses yet