It was him whom she met in her first life, who taught her what love is

zee ☆
8 min readDec 30, 2022

--

The Radiyans New Year’s Eve Party. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Elzio memilih untuk menghabiskan malam penghujung tahun di halaman belakang rumah Zavier. Keluarga Radiyan memang selalu merayakan malam pergantian tahun dengan orang-orang terdekat mereka — sebenarnya, daripada orang terdekat, lebih cocok untuk disebut sebagai relasi ‘penting’ yang mereka undang. Obrolan yang terdengar pun hanya berputar tentang bisnis yang entah memang ada atau akan ada di masa depan. Elzio mungkin sudah terbiasa dengan pemandangan malam ini, tetapi nggak dengan Naya. Ini pertama kalinya Naya mengiyakan ajakan Elzio karena tahun lalu Naya memilih untuk menghabiskan akhir tahunnya di Semarang. Mata Naya sama sekali nggak berhenti untuk memperhatikan satu-satu orang yang lewat di depannya. Ia mengenali beberapa orang yang sering ia lihat di media online dengan achievementnya ataupun dengan gossipnya.

“Lo bisa promosi kerjaan lo kalau mau, Nay,” celetuk Maiza yang dari tadi ada di samping Naya. Beberapa hari sebelum ini juga Ersya pernah menyebutkan hal yang sama, mungkin itu maksud terselubung dari acara malam ini. “Nggak bakal dianggap aneh kok, karena semua orang di sini memang begitu.”

“Kerjaanku yang sekarang sudah lumayan bikin kepala pecah, Za. Nggak mau nambah kerjaan lagi,” jawab Naya sambil menggelengkan kepala. Maiza sebenarnya lebih tua dua tahun daripada Naya, tapi dia nggak suka dipanggil ‘Kak’ karena terkesan tua, ditambah Arsenio — kembaran Maiza — sering mengejek Maiza kalau dipanggil ‘Mba’ atau ‘Kak’ semenjak Maiza pulang ke Indonesia — membuat Maiza semakin enggan dipanggil seperti itu. “Makin pecah nggak sih kepalaku kalau punya klien kayak orang-orang begini,” ceplos Naya, dia nggak bermaksud buruk karena Maiza langsung paham apa yang sebenarnya Naya maksud.

“Hahaha, emang pasti banyak maunya sih, Nay. ‘Semakin tinggi budget, semakin banyak demandthey said,” tawa Maiza pecah ketika mendengar jawaban dari Naya, nggak semua orang bisa menolak kesempatan yang jelas-jelas sudah ada di depan mata. “Dulu, acara ini beneran kayak acara bisnis yang boring banget. Sampai Zavi kenal sama Elzio, Leo sama Rei. Sedikit lebih seru, karena akhirnya dia punya temen yang beneran bisa nganggap ini tuh ‘party’ beneran. Nggak ada tuh Zavi diem di kamar doang kalau ada temennya, padahal dulu dia selalu diam di kamar doang — sibuk sama gamenya.”

Cerita itu jelas nggak asing untuk Naya, karena Elzio sudah menceritakan hampir semua dari cerita yang ada di hidupnya — dan juga orang yang ada di sekitarnya. Naya nggak pernah bertanya, tapi Elzio juga nggak pernah berhenti untuk bercerita. Naya nggak pernah menduga kalau Elzio akan lebih cerewet dari apa yang pernah dia lihat sebelumnya, Naya kadang sampai menyuruh Elzio untuk ‘menyimpan’ ceritanya buat besok hari — saking banyaknya. Dan, cerita Maiza barusan adalah alasan kenapa Elzio nggak pernah absen untuk menghadiri acara malam ini — ia juga nggak punya alasan yang kuat untuk nggak datang seperti Leo yang malam ini punya acaranya sendiri bersama Kesya. Dalam diamnya, dia nggak mau Zavier merasakan kosong di saat telinganya mendengarkan suara tawa dan obrolan yang semakin ramai ketika jam sudah mulai menghitung mundur tanda tahun akan berganti, karena itu, Elzio akan selalu datang selagi dia bisa. Nggak akan pernah dia ucapkan secara langsung, tapi Elzio sepeduli itu dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Kedua bola mata Naya langsung berbinar sewaktu matanya menangkap Elzio yang sedang berjalan ke arahnya. Di saat orang lain menggunakan tuxedo agar memiliki kesan formal, Elzio lebih memilih untuk menggunakan baju yang biasanya dia gunakan. ripped jeans dan kemeja berwarna hitam. “Kan aku mau ke rumah Zavier buat ketemu sama Zavier, bukan ketemu orang tuanya,” jelasnya ketika Naya menanyakan tentang pakaian Elzio malam ini, jelas nggak ada yang salah karena Naya juga menggunakan baju yang sering ia gunakan, katanya — padahal Naya sudah dari dua hari sebelumnya untuk memilih baju mana yang cocok ia gunakan malam ini.

“Biasa aja liatinnya,” bisik Elzio ketika dia sudah duduk dengan sempurna di sebelah kiri Naya. Di sebelah kiri karena ada laki-laki asing yang nggak jauh dari Naya duduk. Mungkin ini hanya perasaan Elzio, tapi dia merasa kalau orang itu terus-terusan menatap ke arah Naya dan Maiza. Entahlah siapa yang orang itu incar, tapi lebih baik ‘menjaga’ Naya terlebih dahulu — soalnya kalau Maiza, itu urusan Zavier.

Naya memutar bola matanya malas. “Padahal aku nggak ngeliatin kamu.”

“Terus ngeliatin siapa?” timpanya cepat. “Zavier? Rei? Atau bapak-bapak yang tadi aku lewatin.”

“Kepo,” cibir Naya iseng. Siapa lagi coba yang Naya liat selain Elzio? Laki-laki itu sebenarnya nggak perlu bertanya karena dia sudah tau jawabannya, tapi kadang-kadang Elzio lebih senang mendengar itu dari bibir Naya langsung daripada harus menduganya sendiri. Naya tersenyum kecil ketika melihat Elzio sedikit merengut karena jawabannya, sisi Elzio yang baru-baru ini Naya kenal — sometimes he just needs validation, because he wants to validate what he’s thinking. Sometimes.

Acara berlanjut dengan berbagai rangkaian yang sudah disusun oleh keluarga Radiyan dari jauh-jauh hari, tapi Elzio dan Naya tetap pada dunia mereka sendiri, nggak peduli dengan bagaimana acara itu berlanjut. Kaki mereka terus berjalan mengelilingi bagian makanan, kadang berhenti sebentar untuk menikmati makanan yang sudah mereka ambil. Bibir mereka dari tadi nggak ada henti-hentinya berbicara, topik pun enggan habis karena ada saja yang mereka bicarakan — mulai dari jenis makanan yang ada di hadapan mereka sampai orang-orang yang lewat di depan mereka pun menjadi topik obrolan mereka. Elzio dan Naya nggak pernah merasa bosan dengan apapun yang satu sama lain ceritakan, walaupun cerita itu sudah berkali-kali didengar. They’re each other’s safe place where both feel seen and heard, everything can be worked out even during dulls time because they’re equally valued.

“Kayaknya kalau acaranya sampai besok, aku nggak berhenti makan deh,” ucap Naya sembari menyuapkan satu pie ke dalam mulutnya.

“Emang sampai besok,” timpal Elzio sambil mengusap ujung bibir Naya yang terkena selai dari pie yang barusan Naya makan.

“Ih, maksud aku tuh sampai pagi yang bener-bener ada mataharinya, bukan besok dini hari,” jelas Naya sedikit kesal — dan sedikit menutup kegugupannya ketika Elzio mengusap ujung bibirnya tanpa aba-aba.

“Iya, memang begitu, Nay.”

“Serius?”

“Nggak langsung pulang, tapi nggak di sini juga,” jawab Elzio. Biasanya juga dia nggak pernah langsung pulang setelah dari tempat Zavier. Dulu, setelah mengantar Tasha pulang, ia memilih untuk pergi ke studio pribadinya — menghabiskan hari pertama di awal tahun dengan hobinya tanpa diganggu oleh orang lain, sudah menjadi hal yang wajar kalau hari itu Elzio sama sekali nggak bisa dihubungi. Tapi, sedikit berbeda dengan hari ini… “Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kalau mau makanan yang ada di sini, ntar aku tanya Zavier siapa tau bisa take away.”

“Mau ke mana?” tanya Naya serius, mengabaikan candaan Elzio barusan tentang take away.

Belum sempat Elzio menjawab pertanyaan Naya, mereka dipanggil oleh Zavier untuk mendekat ke kolam renang. Beberapa menit lagi, tahun 2025 akan tergantikan oleh 2026.

“Yuk?” ajak Elzio sambil menautkan jemarinya di antara jemari Naya dengan perlahan — it’s their first time, baru hari ini Elzio membiarkan egonya lebih besar daripada rasa khawatirnya ketika bersama Naya. Mereka berdua mendekati keramaian ketika orang-orang mulai menghitung mundur. Nggak ada obrolan yang terjadi setelahnya, sibuk dengan pikirannya masing-masing — terutama Naya.

Naya memperhatikan jemarinya yang tertaut dengan sempurna dengan jemari Elzio, ia juga merasakan ibu jari Elzio yang terus-terusan mengelus punggung ibu jari Naya dengan pelan seperti layaknya sebuah kebiasaan yang dia lakukan ketika sedang memegang tangan orang lain. Kepalanya penuh dengan Elzio, melihat kembali apa saja yang sudah ia lihat di diri Elzio dan juga berpikir tentang apa saja yang Elzio lihat dari dirinya.

Dari dulu Naya selalu membayangkan orang-orang yang pergi terlebih dahulu, sampai akhirnya dia terbiasa melihat orang pergi. Saking terbiasanya sampai sama sekali nggak ada rasa kecewa yang muncul, hanya… sedikit sedih dengan kejadian yang akan selalu terus berulang. Sempat ada rasa ragu yang ia letakkan ke Elzio setelah mendengar lelaki itu mengutarakan apa yang dia rasakan — rasa ragu kalau Elzio juga akan pergi ketika Naya masih belum menemukan jawaban dari perasaan dirinya. Tapi, sampai sekarang ketika dia sudah menemukan jawabannya, Elzio masih memegang tangannya. Naya slowly tearing down the wall she built around her. Elzio was the one person Naya always let in. The one person she felt truly comfortable around, the one person she felt safe around.

Terkadang nggak perlu berusaha lebih untuk meyakinkan seseorang, tapi perlu untuk melakukan dengan sepenuhnya. Sepenuhnya mencintai dan sepenuhnya percaya. Itu yang selalu Elzio lakukan terhadap Naya.

“Ten! Nine! Eight!” orang-orang mulai berseru berhitung mundur.

“Elzio,” panggil Naya setelah terdiam lama. Ia menatap Elzio lembut.

“Seven!”

“Kenapa?” tanya Elzio sedikit berteriak di telinga Naya, karena suara yang ada di sekitar mereka begitu nyaring.

“Six! Five!”

Nggak ada kata-kata yang keluar dari bibir Naya. Ia hanya menaikkan diri untuk mendekat ke arah Elzio, menghapus jarak yang ada di antara mereka berdua. Bibirnya mengecup lembut bibir lelaki yang sekarang sedang terpaku sambil mengeratkan genggaman tangan Naya dengan erat. Naya mengosongkan pikirannya ketika bibirnya menyentuh bibir Elzio, membiarkan semua berjalan sesuai dengan kemauan perasaannya, tanpa harus berpikir panjang.

“Four! Three! Two! One! Happy New Year!”

Ketika terdengar suara orang-orang mulai berteriak merayakan tahun baru, Naya langsung menarik dirinya seperti nggak terjadi apa-apa. Tapi, laki-laki yang ada di sampingnya sama sekali nggak bergerak karena kaget.

Elzio diam, menenangkan pikiran dan jantungnya yang berdegup kencang nggak beraturan — bahkan telinganya nggak terlalu mendengar suara terompet dan kembang api yang begitu nyaring. Elzio nggak pernah menanyakan apapun yang memperjelas hubungan mereka, karena Elzio merasa cukup ketika dia sudah merasa memberikan semuanya. When he said that he will wait no matter how long it takes her, he really mean it. Karena sampai tadi sebelum Naya menjawab semuanya pun Elzio masih akan terus bersedia menunggu.

“Garansinya, kalau kamu ingat,” ucap Naya ketika melihat Elzio yang nggak bergerak sedikitpun sambil menyesuaikan diri dengan suasana ramai yang terjadi di sekitar mereka berdua.

Perlahan jari-jari yang tadinya ia tautkan di jemari Naya pun berpindah ke pinggang Naya untuk menarik gadis itu agar lebih dekat dengannya. “Nay, tau kan kalau aku nggak akan nutupin semuanya di depan banyak orang?” bisiknya jahil.

Naya mendengus kesal, sedikit terbiasa dengan afeksi Elzio yang bisa dibilang nggak tau tempat karena kadang-kadang Elzio bisa melakukan atau mengatakan sesuatu yang nggak sesuai dengan tempatnya — ya… walaupun masih dalam batasan yang wajar menurut Naya. “Ya, coba aja kalau berani,” tantang Naya yang membuat Elzio semakin mengeratkan lingkaran tanggannya di pinggang Naya yang membuat Naya hanya terkekeh.

Thank you, Nay,” ucap Elzio tiba-tiba diikuti dengan senyum yang nggak akan pernah bisa ditutupi oleh Elzio. “For everything.”

In the middle of the struggle, it was him, someone who gained her respect and affection. It was him, who kept her together despite the hardest days. It was him, who made her feel needed and important. It was him, who became her sunshine even if every day wasn’t as pleasant. It was him, who became one of her reasons to stay alive.

And, it was Elzio whom she met in her first life, who taught her what unconditional love is.

--

--

No responses yet