Arunaya’s Point of View
Banyak di dunia ini yang nggak aku suka, salah satunya gelap. Ketika banyak orang yang bisa menemukan ketenangan dalam gelap, aku sama sekali nggak bisa merasa tenang. Aku bisa merasa tenang apabila aku berada di tengah-tengah banyak orang, walaupun bukan aku lawan bicaranya, aku merasa aman — gak seperti sekarang. Tanganku bergetar hebat dan keringat dingin terus mengucur dari dahiku. Bahkan cahaya bulan pun nggak bisa mengurangi rasa takutku sekarang.
Aku nggak mau sendiri.
Aku mau keluar.
Suara samar-samar terdengar masuk menusuk ke dalam telingaku. Suara yang membuatku nggak nyaman, tapi juga nggak asing. Aku terduduk di ujung ruangan — yang bahkan aku nggak tau ini ruangan apa. Pelan-pelan aku bangun, memberanikan diri untuk mencari jalan keluar dari ruangan ini. Dengan sedikit cahaya bulan yang masuk melalui jendela, aku berjalan perlahan sambil meraba-raba benda yang ada di sekitarku.
Aku nggak tau ini ruangan apa. Tapi, entah kenapa kakiku seperti mengingat jalannya untuk pergi, kakiku hapal dengan posisi benda di ruangan ini seperti aku sudah hidup di sini begitu lama. Aku berusaha untuk mengontrol deru napasku yang begitu memburu. Persetan dengan benda mati yang kemungkinan ada di depanku, aku mempercayakan kakiku untuk menuntunku keluar secepat mungkin.
Tepat di saat aku memegang gagang pintu untuk kubuka, aku mendengar suara tangisan dari sisi sebelah kiriku. Alih-alih pergi karena takut, aku menoleh untuk mencari sumber suara. Mataku berusaha untuk mencari sang empu suara walaupun dengan minimnya cahaya yang ada di ruangan ini. Kakiku bergerak tanpa ada izin dariku, bergerak mendekat ke sumber suara.
Tepat di sebelah jendela yang terbuka cukup lebar dan gorden yang berterbangan, aku melihat sosok anak kecil yang sedang terduduk di ujung ruangan sambil memeluk dirinya sendiri. Ia terlihat sedang menahan tangisnya sekuat tenaga agar nggak mengeluarkan suara sama sekali. Badannya bergetar hebat, rambutnya berantakan, dan dengan luka lebam yang menyelimuti wajah mungilnya.
Aku mendekatkan diriku ke sosok anak kecil yang ku lihat. Tangan kananku terulur merapikan rambutnya yang berantakan. Pelan-pelan aku mengusap luka lebam yang ada di wajahnya. Mata sembabnya nggak berhenti untuk mengeluarkan air. Entah kenapa, tanpa aku mau, aku memeluk anak kecil yang ada di depanku. Aku peluk erat dan kubiarkan dia membahasi bajuku dengan air matanya. Tanganku perlahan mengusap punggungnya, agar dia bisa merasa tenang dan aman — aku sampai melupakan diriku yang juga tidak merasa nyaman dengan situasi ini.
Di saat keadaan sudah mulai tenang, aku mendengar suara langkahan kaki yang perlahan mendekat ke arah kita berdua. Aku sadar, anak kecil yang kupeluk kembali bergetar hebat, jauh lebih parah daripada yang tadi kulihat. Aku memberanikan diriku untuk menoleh ke arah sosok yang sekarang sudah ada tepat di belakangku.
Laki-laki berbadan besar, matanya merah penuh amarah, dan deru napas emosi yang begitu terasa. Karena cahaya yang minim, aku nggak bisa mengenali siapa laki-laki itu. Mataku sekarang terfokus ke arah tangannya, ia membawa piring entah apa tujuan dia membawa piring ke sini. Tapi, aku paham untuk apa piring itu ketika dia mulai mengangkat tangannya. Posisi tangan yang seakan-akan dia akan memukulku dengan piring itu, dan…
Craaaaaannggg!
Aku membuka mataku dengan cepat. Deru napasku tersenggal-senggal dan jantungku berdebar hebat seakan habis lari marathon. Kupeluk diriku sendiri berusaha untuk menenangkan diri, mengontrol napasku agar bisa tenang. ‘It’s okay, Nay. It’s okay. Ini cuma mimpi,’ ku sebut kalimat itu berkali-kali seperti mantra. Air mataku perlahan membasahi pipiku.
It’s okay.
It’s okay, Naya.
Mimpi itu sama sekali nggak pernah aku harapkan untuk datang, mimpi yang berulang-ulang terjadi tanpa aku bisa menebak kapan mimpi itu akan datang. Berbagai macam doa sudah aku coba, tapi nggak ada yang mempan sama sekali untuk mengusir mimpi itu. Mimpi yang bermain dikepalaku seperti kaset rusak setiap malam, dan aku nggak tau bagaimana cara membenarkannya. Katanya, kaset yang rusak kalau dibenarkan oleh orang yang salah, akan semakin rusak — dan aku takut kalau aku adalah orang yang salah itu.
Perlahan napasku kembali teratur. Mataku menatap langit-langit kamarku yang terang, karena lampu yang nggak pernah mati kecuali di siang hari dan karena matahari pagi yang berusaha masuk dari celah gorden yang terbuka. Aku seberusaha mungkin untuk menjauhkan pikiran-pikiran buruk yang selalu datang kepadaku, setiap kali mimpi itu datang.
Banyak hal kututupi dalam hidupku, kejadian yang ada di mimpi itu salah satunya. Setiap hari, aku menjalani hidup tanpa tujuan dan entah untuk siapa aku hidup. Aku merasa nggak ada satu orangpun yang menganggap hidupku begitu berarti — bahkan aku sendiri pun merasa begitu. Aku sering membayangkan wajah orang-orang di sekitarku, kalau aku meninggalkan dunia ini terlebih dahulu… sepertinya nggak ada satupun orang yang menatap petiku dengan air mata di wajahnya, hanya tatapan kosong yang terlihat di wajah mereka.
Untuk siapa aku hidup?
Hidup itu seperti roda, terus-terusan berputar. Nggak selalu di atas dan juga nggak selalu di bawah. Tapi, aku merasa hidupku seperti roda yang nggak memiliki rantai, nggak memiliki seseorang untuk mendorong agar roda itu berputar. Hidupku terus di bawah.
Untuk apa aku hidup?
But, deep down, I want someone to hold me. Aku berharap ada seseorang yang memanggilku untuk hidup. Aku mau ada seseorang yang menganggap hidupku itu berarti buat dia. Aku mau seseorang yang bisa mendorong rodaku, seseorang yang akan mengulurkan tangannya untuk menarikku menjauh dari jurang ini. Setidaknya… ada satu orang yang menangis di depan petiku nanti.
Setitik dari hatiku berteriak, aku mau hidup.