Elzio’s Point of View
“Bentar ya, Kak,” ucap Naya sebelum menutup pintu mobil dan perlahan menghilang di balik pagar besar di depan sana.
Lima belas menit pertama, gue nggak ada pikiran buruk sama sekali, jari gue masih sibuk berjalan ke sana kemari di atas layar handphone. Tapi, ketika sudah lebih dari empat puluh menit, nggak ada tanda-tanda Naya keluar dari pintu rumah itu, gue perlahan kehilangan fokus gue pada layar yang sedang gue genggam.
Whatsapp centang satu dan telepon gue nggak terhubung sama sekali. Gue menunggu sedikit lebih lama, dan gue masih nggak menerima tanda-tanda pesan yang gue kirim akan dibalas. Kepala gue terus menimbang harus ke luar dari mobil dan menyusul atau tetap menunggu di sini, tapi kenyataan telepon yang nggak terhubung sangat mengganggu gue.
Ketika gue sudah berdiri di depan pintu, gue masih ragu untuk memencet bel yang ada di samping pintu atau nggak. Sebenarnya, gue nggak masalah dengan seberapa lamapun urusan Naya, tapi yang bikin gue memaksakan diri untuk turun adalah handphonenya yang mati — nggak mungkin habis baterai karena di sepanjang jalan, dia mencharger handphonenya di mobil.
Dan tepat di saat gue mau memencet bel, gue mendengar suara lemparan barang yang terdengar jelas sampai ke luar rumah, di susul dengan suara teriakan yang sebenarnya bisa gue kenali itu suara siapa. Semua pertikaian dan perdebatan yang terjadi bisa gue dengar dengan jelas. Ini bukan urusan gue, tapi kaki gue sama sekali nggak bisa bergerak mundur untuk menjauh dari pintu itu. Otak gue mengatakan untuk menunggu di mobil, tapi entah kenapa gue merasa gue gak bisa meninggalkan ini.
Potongan demi potongan cerita Naya yang nggak gue pahami konteksnya pun perlahan menyatu menjadi cerita yang padu. Mulai dari alasan dia nggak bisa tidur sebelum matahari terbit, alasan dia nggak pernah mematikan lampu di kamarnya, sampai alasan dia sering membaca buku di saat dia sendiri. Dan, alasan Naya menjadi diri dia yang sekarang. Diri dia yang terus-terusan melindungi dirinya sendiri. Semua menjadi jelas ketika secara nggak sengaja mendengarkan apa yang mereka perdebatkan di dalam sana.
“Aku nggak punya orang lain selain aku sendiri,” ucapan Naya beberapa bulan yang lalu langsung muncul begitu saja. Awalnya gue pikir itu hanya cara dia berpikir untuk lebih menghargai dirinya sendiri, nggak pernah terpikirkan alasan kenapa dia bisa berpikir seperti itu karena dia sama sekali nggak menunjukkan sedikitpun luka dalam dirinya.
Pintu tiba-tiba terbuka menunjukkan Naya — she shows another side of her that I’ve never seen before. Sisi yang ingin ia tutupi dari siapapun, tapi gue nggak sengaja melihat hal itu hari ini. Amarah yang sama sekali nggak pernah dia tunjukkan sebelumnya.
Tanpa sepatah kata apapun, Naya menarik tangan gue menjauh dari rumah itu. Dari belakang, gue melihat badan mungilnya yang menarik gue. Kepala gue nggak bisa bekerja sama sekali untuk berpikir apa yang sebenarnya harus gue lakukan sekarang selain mengikuti langkah kecilnya.
If I were her, gue nggak akan sanggup untuk menarik tangan orang lain untuk pergi. But, she did that. Masih bisa melihat orang lain di saat dia seharusnya nggak bisa melihat siapa-siapa lagi di sekitarnya.
Gue menyetir mobil dalam diam. Bibir gue kelu, nggak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Naya pun melakukan hal yang sama. Matanya terkunci menatap jalanan. Biasanya dia terganggu dengan hening yang ada di mobil, tapi kali ini Naya sama sekali nggak protes dengan kekosongan yang ada di dalam mobil ini.
Bohong kalau gue nggak menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi tadi. Tapi, gue berusaha untuk menjauhkan pikiran itu. Naya menutupi semua itu dengan alasan yang pasti, dan gue nggak mau memiliki kesan ‘menelanjangi’ masalah orang lain.
El, masalah hidup lo sudah cukup rumit untuk memikirkan lebih lanjut tentang masalah orang lain. Tapi otak gue nggak kunjung diam.
Empat puluh lima menit perjalanan ditempuh dengan keheningan. Bahkan sampai sekarang kita berdua sedang di lift menuju ke lantai masing-masing. Kepala gue penuh dengan memikirkan apa yang harus gue bicarakan, karena gue nggak mau meninggalkan kesan canggung untuk hari ini — akan sulit kedepannya untuk kembali seperti biasa kalau hari ini gue canggung bahkan untuk basa-basi ke Naya.
“Nay,” panggil gue pelan. Jari telunjuk gue menekan tombol lift agar pintu lift tetap terbuka. Naya hanya menolehkan kepalanya, menunggu gue melanjutkan apa yang ingin gue bicarakan. “Lo nggak laper?”
Mata gue melihat dan telinga gue mendengar kekehan Naya, akhirnya. “Kamu laper, ya?”
“Iya, laper. Lo juga belum makan dari sore, ‘kan?”
“Belum. Tapi, aku nggak begitu lapar sih.”
“Ini nolak ya berarti, Nay?”
Naya hanya tersenyum canggung sebagai jawaban. Ya… orang mana yang mau terjebak bersama orang lain menahan perasaan yang sudah seharusnya dia rasakan dari tadi. Gue bisa dengan jelas merasakan dia begitu menahan amarahnya ketika bersama gue di mobil tadi, diam mengatur napasnya yang terburu-buru dan memaksa untuk menenangkan diri di depan orang lain.
“Okay, kalau tiba-tiba laper bilang aja. Gue available buat diajak makan kok, Nay.” Entah kenapa bibir ini terus berbicara yang membuat keadaan semakin canggung karena gue terkesan memaksa.
“Oke. Tapi, jangan ditungguin, Kak. Takutnya aku beneran nggak laper,” ucapnya pelan.
“Just incase, Nay.”
Gue melihat Naya mengangguk sebelum pintu lift tertutup dan naik menuju lantai gue. Entah sejak kapan inisiatif gue sebesar hari ini, karena biasanya gue nggak begitu peduli dengan apa yang ada di sekitar gue — sibuk dengan diri sendiri. Gue merasa gue harus ‘membalas’ Naya yang sudah menemani gue beberapa bulan ke belakang, tapi, apa yang sebenarnya gue rasakan lebih rumit dari itu.
Untuk sekarang, gue hanya memastikan kalau dia tahu, dia nggak sendiri. Karena itu yang ingin gue dapatkan dulu, bahwa ada orang yang bersedia untuk ‘ada’ bersama gue.
And, I want to she knows I’m here and she’s not alone.